Penegakan Hukum bagi Kasus Pemerkosaan Berantai di Purworejo Harus Maksimal
Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina. Foto : Mu/Andri
PARLEMENTARIA, Jakarta - Kasus pemerkosaan terhadap dua remaja putri di Purworejo yang dilakukan oleh 13 pria tetangga mereka, telah menghebohkan publik. Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina, menyoroti lambatnya penanganan kasus ini dan mendesak agar aparat penegak hukum bertindak tegas.
Selly mengingatkan ketegasan penegakan hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual. "Kami mendorong agar pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum dimaksimalkan, khususnya dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sempat tertundanya penanganan kasus di Purworejo ini menjadi momen perbaikan sistem penegakan hukum di Indonesia," ujarnya kepada Parlementaria di Jakarta, Selasa (4/11/2024).
Seperti diketahui, publik dikejutkan dengan kasus pemerkosaan terhadap kakak dan adik perempuan berinisial DSA (15) dan KSH (17) di Kabupaten Purworejo. Keduanya diperkosa oleh 13 pria tetangganya sepanjang tahun 2023 dalam kurun waktu dan kondisi yang berbeda-beda.
DSA pun akhirnya hamil dan kini telah melahirkan buntut rangkaian pemerkosaan ini. Kasus tersebut sempat tidak ditangani oleh Polres Purworejo karena keluarga korban dan pelaku menyelesaikan perkara tersebut secara kekeluargaan dengan difasilitasi pemerintah desa setempat.
Polda Jateng kemudian mengambil alih kasus tersebut setelah viral dan kini telah melakukan pemeriksaan kepada para saksi namun belum menetapkan tersangka. Selly menegaskan, pihak kepolisian harus menerapkan UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dalam menangani kasus pemerkosaan dua kakak beradik tersebut.
“Jadi penerapan UU Perlindungan Anak saja tidak cukup. Polisi harus menerapkan UU TPKS agar hukuman bagi pelaku lebih maksimal karena apa yang mereka perbuat sangat biadab,” tegasnya.
Berdasarkan keterangan korban, para pelaku mencekoki mereka dengan miras saat menjalankan aksinya. Korban juga kerap diseret, dianiaya, dan dipaksa melakukan persetubuhan.
Korban awalnya takut untuk mengungkapkan peristiwa yang dialaminya karena pelaku mengancam akan menyebarkan video persetubuan mereka. Selain itu, korban juga mengaku pernah disekap selama beberapa hari saat diperkosa, hingga dijual oleh pelaku ke pria hidung belang.
Selly pun menyoroti bagaimana korban menyatakan dipaksa menikah siri dengan salah satu pelaku. Dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU TPKS diatur adanya ancaman hukuman pidana bagi pihak-pihak yang memaksa korban kekerasan seksual menikah dengan pelaku.
“Kita sangat sesalkan adanya pemaksaan pernikahan korban dengan pelaku. Ini bisa dikenakan hukuman pidana berdasarkan UU TPKS,” ujar Selly. (ssb/rdn)